music

Minggu, 13 April 2014

cerpen *tugas b.indonesia*



 
                        CINTA, CITA DAN KITA

Cinta, cinta dan cinta adalah suatu kata yang nggak ada matinya untuk dibahas. Kata yang memiliki makna luas dan arti yang berbeda dalam masing-masing individu. Love is never die adalah benar, karena dari masa ke masa “Cinta” tetap menjadi “Trending topic”.
Saat pertama aku lahir ke dunia, cinta telah menyertaiku. Sebelum aku diberi nama Ananda Luna Putri Chantika, Tuhan telah memperkenalkanku dengan cinta yaitu cinta dari mama dan papa. Kemudian mama dan papa mengajarkanku untuk cinta pada Tuhan, kakek, nenek, kakak, tetanggaku, hingga hewan kesayangan mama dan kak Salsa, Leon si kucing, yang hobi buang hajat sembarangan tanpa rasa bersalah. Menjijikkan…!!
Namun untuk belajar mencintai lawan jenis, orangtuaku tak pernah mengajarkanku. Secara naluri, aku belajar mencintai dan tertarik pada pria pada awal masa pubertas. Pertama kali aku merasakan cinta pada temen sekelasku di kelas 1 SMPN 1 Malang.
“Kenalkan namaku Adryan Rizky Pradana panggilannya Ryan, nama kamu siapa?” tanyanya padaku sambil mengulurkan tangan. Dia berdiri di depan bangkuku, setelah berkenalan dengan teman sebangkuku.
Aku tak langsung menjawab untuk memperkenalkan diri. Karena aku sedang sibuk mencoba memperbaiki pulpenku yang ada 4 pilihan warna dalam satu tempat. Entah mengapa, pulpen itu rusak saat aku mencoba memilih dua warna sekaligus.
“Ada apa? pulpen kamu rusak ya?” tanya Feby, teman sebangkuku.
Aku hanya mengangguk tanpa menolehkan wajahku. Di benakku hanya terbayang wajah seram Kak Salsa. Saat ia tahu pulpennya yang aku ambil diam-diam dari tasnya telah rusak. Sebenarnya ini kesalahan mama, masa’ aku dibelikan gambar Power Rangers sedangkan pulpen Kak Salsa bergambar Hello Kitty?!! Seharusnya Kak Salsa dibeliin yang polos tanpa gambar, kan dia udah masuk SMA.
“Sini, coba aku benerin!!” kata Ryan yang tanpa menunggu jawaban dariku, mengambil pulpen dari tanganku.
Ryan mencoba memperbaiki pulpen Hello Kitty itu. Sementara itu aku dan Feby menunggu dengan H2C alias Harap-Harap Cemas. Akhirnya pulpen yang sok manis itu bisa kembali seperti semula.
“Terima kasih ya, siapa tadi nama kamu? Ryan ya? Perkenalkan namaku Ananda Luna Putri Chantika, cukup kamu panggil Luna.” Kataku dengan penuh semangat.
Ryan hanya mengangguk dan tersenyum. ‘Oh My God!!! ternyata dia cakep banget, apalagi hidungnya yang mancung itu’. Aku pun membalas senyumannya. Lalu Ryan pergi keluar dari kelas, sementara aku tetap memandanginya.
“Cie… cie… kamu suka sama dia ya?” goda Feby sambil menyenggol bahu kananku.
“Apaan? ke kantin yuk ntar ku traktir!?”
Setiap hari aku suka merhatiin Ryan di kelas, di kantin, di tempat parkir dan semua sudut di sekolah. Aku suka banget sama dia tapi rasa itu tiba-tiba hilang. Karena dia suka sama makanan yang paling aku benci di dunia ini yaitu paetae alias pete. Informasi ini didapatkan, saat aku mewawancarainya mewakili JSP (Jurnalis Siswa Prestasi yang jadi salah satu ekstrakulikuler jurnalis di sekolah) untuk mengisi profil siswa berprestasi yang akan diterbitkan dalam majalah sekolah. Sumpah gue ilfeel abisss sama dia.
………………… …. … .. .

Setelah melalui masa SMP dan masa-cinta-pertama, akhirnya aku masuk SMA dan bertemu dengan seorang cowok yang buat aku jatuh cinta. Walaupun aku tak pernah mengerti apa yang buatku jatuh cinta dengannya.

Hari pertama
Sabtu, 12 Januari 2013 pukul 15.15 di lapangan basket SMAN 1 Malang, Aku dan Reihan resmi jadian. Dia adalah pacar pertamaku dan aku juga pacar pertamanya. Sebenarnya aku lebih berharap Doni, kapten basket yang nembak aku. Tapi setelah aku melakukan wawancara dengannya, bukan dia yang nempel ke aku malah aku dideketin sama anak buahnya. Walaupun satu sekolah mengakui dia lebih tampan daripada Doni.

Hari kelima
Emang ya? Kalau udah punya pacar maunya hubungin si dia terus. Mulai dari bangun tidur sampai mau tidur, bahkan di tengah-tengah tidur rela bangun bentar hanya untuk membalas sms pacar atau sekedar memberikan ucapan “Good Night!!”  Tiap hari pulang-pergi sekolah bareng naik motor boncengan. Lumayan, motorku bisa istirahat.

Hari kelima belas
Saat jam istirahat pertama, Reihan nyamperin aku ke kelas hanya untuk say “Hai?!” Tanpa rasa canggung dia masuk ke kelas, padahal dia kelas XI-IPS 4 sedangkan aku kelas XI-IPA 1. Beberapa teman sekelasku yang ada di kelas godain kita. Sementara aku yang terlanjur malu, nyuruh dia keluar dari kelas.

Hari kedua puluh dua
“Langsung antar aku pulang aja!!” kataku ketus tanpa melihat wajahnya sambil mengambil helm dari motor.
“Ada apa? Aku kan udah janji ajakin kamu nonton buat ngerayain kamu yang terpilih jadi ketua Pemuda Jurnalistik.” Reihan membatalkan niatnya untuk memakai helm.
“Kamu nonton sama Veny aja sana! tadi aku lihat kamu seneng banget dihapus keringatnya sama dia. Nggak takut ketularan panu, jangan-jangan kulitnya putih karena kena panu. Trus panunya nempel di handuknya lalu kamu kena panu.”
“Luna, kamu cemburu ya? Kan Veny anak cheerleader, jadi wajar kalau aku akrab sama dia. Anak basket dan tim cheers itu kan emang harus saling mendukung.” Reihan mencoba memberikan pengertian.
“Akrab? Aku pengen kamu bisa jadi ketua basket bukan sok-sokan kayak ketua basket. Seharusnya kamu fokus latihan bukan fokus ketawa-ketiwi sama Veny. Kamu nggak ngehargain aku, pacar kamu. Aku yang dari pulang sekolah sampai jam 5 sore nungguin kamu latihan basket. Aku yang kamu kecewain selesai latihan bukannya nyamperin aku, pacar kamu, malah deketin Veny.”
“Luna, jangan marah ya? Beneran aku nggak ada perasaan apa-apa ke Veny.” belum sempat Reihan memegang tanganku, aku pergi dari parkiran motor.

Hari kedua puluh tiga
“Assalamu’alaikum… Halo, ada apa Rei?” setelah dua puluh kali aku tidak mengangkat telepon darinya.
“Wa’alaikumsalam… Luna, ngapain kamu bocengan sama Aldo tadi siang? Lalu kalian pergi ke mana?” tanya Reihan dengan penuh emosi.
“Kenapa tanya?”
“Luna, aku ini masih pacar kamu. Seharusnya sebelum keluar sama cowok lain ngomong ke aku. Kenapa kamu nggak bilang ke aku sih?”
“Ngapain? Mamaku sudah ngasih izin. Lagian aku dan Aldo pergi ke percetakan untuk majalah sekolah, nggak sok mesra-mesraan kayak tim basket dengan anak cheers.” jawabku ketus.
“Luna, kenapa harus bahas masalah itu lagi?”
“Udahan kan tanyanya? Aku udah ngantuk, pengen tidur.” aku menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari Reihan.

Hari kedua puluh empat
Aku dan Reihan masih berantem.

Hari kedua puluh lima
Aku dan Reihan baikan, setelah dia minta maaf dengan mengirimkan sebuah video yang berisi foto kita. So sweet… serta yang membuat aku lebih melting, waktu aku dengerin backsongnya Adera – Lebih Indah yang dicover Reihan dengan alunan musik piano.
.....

Suasana siang di taman alun-alun hari minggu cukup ramai. Aku dan Reihan duduk berteduh di bawah pohon sambil menikmati es krim. Anak-anak yang asyik bermain, satu-persatu meninggalkan taman bersama orangtuanya.
“Hari rabu, aku ada pertandingan basket dengan SMAN 5 Malang. Kamu nonton ya?!” Reihan membuka suara setelah lama kita larut menikmati es krim.
“Jam berapa? dimana pertandingan basket diadain?”
“Jam setengah 3 di GOR, kamu ada acara nggak?”
“Ada apa nggak ya?” godaku.
“Kalau sibuk, nggak apa-apa kok.” Reihan berpura-pura memasang wajah sedih.

“Nggak sibuk, sayang.” aku mengoleskan es krim di hidungnya, “Nanti kita berangkat bareng ya?”.
“Tenang sayang takkan ku biarkan kau jalan kaki” kata Reihan sok puitis.
“Gombal.. lagian ngapain jalan kaki? Angkot banyak.”
“Ya udah, nona naik angkot saja.”
“Reihan…” teriakku manja. Reihan tertawa sambil menikmati es krim kembali.
Kita merasa geli, saat melihat seorang anak yang mengendarai sepeda namun bergaya seperti Valentino Rossi lengkap dengan jaket dan helmnya. Sementara mulutnya yang mungil tak berhenti berbunyi menirukan suara motor.
“Kapan diklat basketnya?” tanyaku.
“Minggu ini, hari sabtu dan minggu. Nanti pas hari sabtu, kamu bawa motor sendiri ya?” kata Reihan.
“Ok, itu nanti ada acara pemilihan ketua basket kan?”
“Ada, emangnya kenapa?” Reihan menatapku heran.
“Ehm… ntar pas pertandingan, kamu maksimal ya? Biar ntar bisa kepilih jadi ketua tim basket sekolah.” aku melihat ke arah anak yang lucu tadi.
“Insya Allah… cita-cita kamu apa?”
“Kenapa tiba-tiba kamu tanya tentang itu?”
“Nggak apa-apa, kamu kenal Ria Andansari?” aku menggelengkan kepala, “Dia sepupuku, katanya dia satu SMP sama kamu tapi kakak kelas.”
Aku diam menunggu penjelasan selanjutnya.
“Dia bilang kalau sejak SMP, kamu sudah aktif di ekskul jurnalistik dan pernah menjadi ketua redaksi juga.”
“Owh… aku ingin jadi penyiar berita suatu saat nanti.” kataku sambil memandang langit.
…..
Aku menatap laptopku dengan mata berkatup dan masih terus bekerja dengan otot jemariku yang letih. Seharian ini, aku mencari artikel mengenai kesehatan dan memilih beberapa puisi kiriman teman yang bisa dimasukkan ke blog. Aku ingin blog sekolahku ini bisa menjadi sarana refrensi mengerjakan tugas sekolah dan hiburan. Bukan diisi dengan gosip atau isu yang nggak jelas sumber informasinya.
“Sayang, sudah jam berapa? kok belum tidur?” kata mama sambil membuka pintuku tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
“Tinggal dikit kok, ma.” jawabku tanpa menoleh ke arah mama.
“Ya, mama tidur dulu dan adik jangan sampai tidur larut malam. Ingat, besok sekolah.” mama menutup pintu kamarku kembali.
Akhirnya tugasku selesai, aku melirik jam di meja belajarku. Mama benar sekarang sudah larut malam, angka menunjukkan pukul 22.18. Sebelum berlayar ke negeri impian, aku membuka handphone untuk mengecek apakah ada pesan dari Reihan.
Dari: Reihanku 03/03/2013 21:05
Besok kamu berangkat ke sekolah bawa motor sendiri ya?
Soalnya aku kecapekan habis ikut diklat
Pulang sekolah, kita pergi ke Cafe Mawar ya?
Good night n love you :)
…..

Kalau ada yang bilang kota Malang adem, aku akan membantahnya. Menurutku semua kota sama saja, kalau sudah siang matahari akan dengan bangga memancarkan aura panasnya ke bumi. Aku sampai ke Cafe dan langsung menuju lantai 2. Di meja no.7, Reihan duduk menungguku sambil mendengarkan musik dari smartphone.
“Maaf lama, tadi aku ke Bu Elly buat omongin tentang blog.” kataku sambil meletakkan tas ke lantai.
“Woles, aku ngerti. Gimana ujian kimia?” tanya Reihan.
Jawabanku harus tertunda saat seorang waiter datang. Aku dan Reihan memesan untuk makan siang. Waiter mencatat pesanan kami dengan teliti dan tak lupa sebelum meninggalkan kami, ia menawarkan paket terbaru di Cafe ini.
“Tadi asam-basa cukup menyenangkan.” jawabku tersenyum setelah waiter meninggalkan kami.
“Ehm… Dasar anak IPA.” cibir Reihan.
“Apaaan sih?” aku berpura-pura akan melemparkan vas bunga ke kepalanya.
Pesanan kami pun datang. Kita menikmati steak ayam dan avocado juice. Jangan pernah ditanya, apa yang terjadi saat cewek dan cowoknya makan bareng. Suatu hal yang selalu terjadi adalah cowok selalu makan lebih cepat daripada cewek dan makanan si cewek akan dimakan oleh si cowok apabila si cewek tidak sanggup menghabiskannya. Aku heran sama cowok, mulutnya kok cepet banget gilingin makanan.
“Gimana acara diklat kemarin?” tanyaku setelah kulihat dia telah menghabiskan makanannya.
“Makan dulu diselesaiin, habis itu baru ajak ngomong.” kata Reihan menyuapiku.
Aku nurut saja, lagian yang bayarin dia bukan aku. Namun harus bagaimana lagi, perutku sudah berteriak tidak sanggup. Aku pun memasang wajah melas agar Reihan saja yang menghabiskan makananku. Reihan tersenyum dan menghabiskan makananku dengan lahap. Aku merasa yakin resep badan tegap dan tinggi 174 cm ini didapatkan dari banyak makan.
“Oh ya? besok aku akan mewawancarai Gilang.” ceritaku antusias, “Dia hebat, bisa mendapatkan juara 1 Olimpiade Matematika Nasional. Sumpah, keren abis!!”.
“Gilang siapa?”

“Gilang anak IPA 4, yang baru-baru ini bikin heboh kalau mulai hari kamis kemarin jadian sama si tulalit, Ana.” jawabku kesal.
“Kok baru diwawancarai? kan dia dapat juaranya 2 minggu yang lalu.”
Aku hanya mengangkat kedua bahuku.
“Diklat kemarin seru, kita dikasih pelatihan hardskill.”
“Oh ya? terus siapa yang terpilih jadi ketua tahun ini?” tanyaku.
“Tahun ini, Doni yang terpilih kembali untuk menjadi ketua.” bangga Reihan.
“Doni? kok nggak kamu yang jadi ketua?” tanyaku kecewa.
“Sayang, Doni itu leader yang top banget. Lagian kenapa kamu pengen banget aku jadi ketua basket?” tanya Reihan halus.
“Kenapa? kamu sudah janji sama aku, kamu ingat kan?” Aku menatap Reihan.
Reihan mengusap kepalanya sambil membuang wajahnya, “Iya, aku ingat.”
“Lalu, mana buktinya?”
“Luna, kenapa kamu mau jadi pacar aku?” pertanyaan Reihan membuatku kebingungan untuk menjawab.
“Kamu nggak bisa jawab?” aku tetap terdiam, belum menemukan jawaban.
“Luna, terus terang selama ini aku harus selalu jadi seperti apa yang kamu pengen. Kamu nggak pernah bisa terima aku apa adanya. Kamu malu punya pacar kayak aku? Aku yang hanya anggota biasa di tim basket bukan leader kayak kamu.”
“Rei… kenapa kamu mikir kayak gitu? Aku… aku cuma pengen kamu maju, gitu aja.” aku berusaha menenangkan Reihan.
“Pengen liat aku maju dengan malu punya pacar kayak aku itu beda tipis.” aku diam membiarkannya berbicara.
“Aku rasa hubungan kita nggak bisa diterusin.” membuatku bagaikan tersengat petir.
“Reihan… please masalah kita nggak separah itu kan?” bujukku.
“Luna, kamu nggak nyadar kalau kamu itu…. kamu itu egois!”
Aku sangat amat terasa terkejut dengan jawabannya. Tanpa sadar aku mendorong kursiku ke belakang dengan kasar. Sehingga menimbulkan suara yang cukup keras untuk membuat semua pengunjung di lantai itu memandang ke arahku. Lalu aku mengambil tas, aku ingin segera keluar dari Cafe ini. Aku tidak mengerti dengannya yang merasa terdzalimi olehku. Aku hanya ingin dia tidak diremehin teman-temanku yang selalu menganggap Reihan hanya modal tampang untuk masuk ke tim basket. Tapi mengapa sekarang dia salah mengartikan dukunganku.
“Luna, ku mohon jangan pergi..!!?” Reihan memegang tangan kananku.
Tak ingin kembali menjadi pusat perhatian di Cafe aku kembali duduk, “Tadi katanya hubungan ini nggak bisa diterusin.”
“Luna, aku masih sayang banget sama kamu.” aku diam dan tak ingin melihatnya.
“Oke, terserah kamu. Aku akan beri waktu 1 minggu untuk kamu berpikir untuk dibawa kemana hubungan ini!?”
Aku hanya diam memandangnya. Tak ada kata-kata yang bisa ku ungkapkan. Reihan memanggil waiter untuk membayar tagihan. Setelah selesai dia membayar, kita berdua keluar dari Cafe tanpa canda, tanpa mengucapkan good bye.
…..

Hari ini mataku bengkak akibat efek menangis semalaman. Cinta itu rumit, nggak ada definisi yang tepat kecuali kata “rumit” hanya itu di pikiranku saat ini. Untuk mengurangi efek bengkak, pagi-pagi aku meneteskan obat mata. Aduh periih banget… tapi lebih perih sakit hati ini yang bikin galau. Yang terjadi biarlah terjadi, kalau aku dan Reihan harus putus biarlah dia mendapatkan yang lebih baik dariku. Tiba-tiba wajah Veny terbayang di pelupuk mataku.
…..
Bel pertanda pulang telah berbunyi, aku dan teman-teman mengakhiri kegiatan belajar mengajar. Tak ingin membuang waktu, aku segera keluar dari kelas untuk menemui Gilang di gazebo. Saat berjalan menuju gazebo, aku melihat Reihan ngobrol dengan temannya di depan kelas. Namun baik aku maupun Reihan tidak saling menyapa.
Proses wawancara berjalan dengan baik. Walaupun lucu, mendengarkan jawaban Gilang yang sangat menjunjung tinggi kosa kata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ternyata Gilang lebih menggemari pelajaran fisika daripada matematika. Nggak terlalu suka aja dapet juara 1 tingkat nasional, apalagi kalau suka bisa-bisa dia dapet juara 1 tingkat internasional. Sebenernya di otak orang pinter itu ada apaan sih.
Thanks udah mau diwawancarai.” kataku mengakhiri.
Gilang hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
“Gilang, boleh nggak aku tanya sesuatu? Tapi ini sedikit pribadi, ehm.. tapi ini nggak akan aku masukin ke blog atau majalah sekolah.” aku ragu-ragu.
“Jika ada yang ingin kamu tanyakan, silahkan!!”
Aku menarik napas panjang, “Kamu jadian sama Ana? Nggak, maksudku apa yang kamu suka dari Ana? Nggak gitu maksudku.. ehmm,”.
Aku kebingungan menyusun kata-kata, agar dia tidak salah sangka denganku. Sungguh!!! aku hanya ingin tahu pandangannya tentang cinta.
“Saya paham maksud perkataan kamu. Menurut saya, cinta bisa terjadi pada setiap insan dan untuk siapapun tanpa memandang perbedaan.”
“Kamu nggak malu, kalo ada yang ngledekin kamu gara-gara jadian sama Ana?”
“Mengapa kita merasa rendah diri dengan perkataan teman? Ana adalah perempuan yang unik. Jika 1 + 1 = 2, menurut Ana 1 + 1 = 5. Luna, kita jangan pernah menuntut orang untuk menjadi sempurna. Sesungguhnya perbedaan lebih indah daripada sempurna.”.
Kata-kata Gilang telah membuka mata hatiku. Setelah berpamitan dengan Gilang, aku bergegas menuju kelas Reihan. Karena tidak ada tanda-tanda kehidupan, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Reihan. Namun saat aku menuju tempat parkir, aku melihat Reihan duduk menenggelamkan kepala di antara kedua lututnya di depan ring basket. Serta membiarkan 8 bola basket berserakan di lapangan basket.
“Ini lapangan basket bukan kamar.” teriakku sambil memunguti salah satu bola basket.
Reihan tersenyum, “Lagi capek banget nih..!!”.
“Ajarin maen basket dong?!” aku mencoba memasukkan bola ke ring dan berhasil.
“Pengen gabung ke tim basket ya?” goda Reihan.
Aku duduk di sampingnya, “Kamu kasih aku waktu 1 minggu untuk berpikir tapi kenyataannya aku mendapatkan jawabannya dalam waktu 1 hari. Mungkin kamu tertekan selama jadi pacarku. Aku sadar Rei, kamu mau nggak maafin aku?”.
Reihan berdiri mengambil tasnya dan memunguti bola-bola basket, sementara aku masih duduk. Aku ingin menangis lagi, Reihan pergi dari lapangan ini berarti dia telah memutuskan hubungan ini.
“Hey… ayo beli bakso, perutku laper banget”.
Aku menoleh ke arah sumber suara. Aku menghapus air mataku dan berlari ke arah Reihan.
“Rei, aku pikir kamu akan…”
“Ayo… entar keburu baksonya Cak Man habis.” Reihan menarik tanganku.
Aku tersenyum mengikuti langkah kaki Reihan.
_____

Tidak ada komentar:

Posting Komentar